Sejarah perseteruan Islam dan Kristen, baik dalam ranah teologis-ideologis maupun konflik fisik selalu aktual untuk dikaji. Terutama setelah berakhirnya perang dingin Amerika dan Rusia. Dalam tesis Huntington, perseteruan Islam-Keriten adalah ‘The Clash of Civilization’ alias benturan peradaban.
Secara khusus, umat Islam menghadapi dua masalah utama, dari luar meliputi gerakan kristenisasi dan liberalisasi sedang dari dalam dihantam dengan persoalan konflik antara sesama. Selain banyaknya pengkhianat umat yang rela berkolaborasi dengan musuh untuk melemahkan dan merawat kekacauan serta menjauhkan umat dalam bingkai akidah yang benar lagi selamat: Ahlussunnah wal Jamaah.
Demi mengais pelajaran dari sejarah, penulis mencoba kembali mengangkat peristiwa paling fenomenal dalam perjalanan umat Islam dan perseteruannya dengan Kristen serta pengkhianatan penganut Syiah untuk menghancurkan umat Islam dari dalam.
Perang Salib
Kita mulai dari Pertempuran Manziket pada tahun 1071 Masehi, ketika Turki Seljuk menghancurkan Bizantium lalu menawan Kaisarnya, menggemparkan dunia Barat dan Timur. Selanjutnya, memicu semacam pesan-pesan dari Bizantium, kaisar tertawan seakan menyeru para kesatria Barat untuk datang membantu mereka atas nama kesatuan Kristen.
Akhirnya, para patriark Konstantinopel mengirim pesan mendesak kepada saingan beratnya di Barat, sang paus, memperingatkan bahwa jika Konstantinopel jatuh, pengikut Muhammad yang ‘kafir’ itu akan langsung datang membanjiri kota suci Roma. Ancaman.
Masalah lain, ketika para peziarah (hujjaj) dari Barat yang datang ke Tanah Suci mereka, Yerussalem di bawah kendali pemerintahan Seljuk yang baru saja direbut dari kekuasaan Fathimiyah yang berpusat di Mesir. Seljuk yang berasal dari bangsa Turki ini, memperlakukan para peziarah secara tidak sopan dan terus-menerus menggannggu dan menghalangi para hujjaj Kristen itu, walaupun tidak disiksa, seperti dipukili dan dibunuh, namun pelecehan dan penghinaan kadang lebih menyesakkan.
Sekembalinya ke kampung halaman mereka di Barat, para peziarah menceritakan keadaan dan pengalaman mereka. Mengeluh tentang penghinaan yang ditumpahkan pada mereka oleh orang kafir di tanah suci.
Akibatnya, tahun 1095, Paus Urbanus II terpaksa turun tangan, menyampaikan pidato terbuka berapi-api di luar sebuah biara di Prancis yang dinamai ‘Claremont’. Di sana, ia mengatakan pada majelis bangsawan Prancis, Jerman, dan Italia bahwa dunia Kristen berada dalam ancaman. Ia menjelaskan secara detail penghinaan yang diterima para peziarah di Tanah Suci dan menyerukan orang beriman untuk membantu saudara-saudara mereka mengusir orang Turki dari Yerussalem.
Paus Urban menyarankan bahwa mereka yang menuju ke Timur harus mengenakan salib berbentuk kotak merah sebagai lambang pencarian mereka. Ekspedisi harus disebut “croisade” dari “croix” bahasa Prancis untuk “salib”, dan dari inilah berasalnya nama yang dibekukan pada sejarawan untuk segenap upaya itu: Crusades atau Perang Salib, (Tamim Ansary, 2009).
Dengan wewenang yang ada padanya, Paus memutuskan bahwa siapa pun yang berangkat ke Yerussalem untuk membunuh kaum kafir muslim akan menerima pengampunan atas dosa-dosanya. Menggiurkan memang. “Pergilan ke Timur anak muda, kata Paus. Tunjukkan diri kalian yang sejati sebagai mesin pembunuh mengagumkan yang untuk itulah kalian telah dilatih masyarakat kalian, penuhi sakumu dengan emas tanpa rasa bersalah, rebutlan tanah yang jadi hak kalian sejak lahir, dan sebagai akibat dari itu semua, masuklah ke surga setelah kalian mati!” Begitu mantra sang Paus.
Tentara ‘salib’ itu pun berduyung-duyung datang ke Timur, berziarah dan untuk merebut Yerussalem, serta merampas hak orang Islam yang kafir itu, dan jika bisa membantai mereka sehabis-habisnya.
Pemerintah Seljuk yang menguasai Yerussalem, Kilij Arslan, suatu hari di tahun 1096 mendapat info tentang adanya penyusup yang mereka anggap tentara bayaran dari Balkan, dan menyebut mereka sebagai “Al-Ifranj” orang “Franj” atau ditulis “Frank”. Laporan yang sampai secara detail bahwa, para Franj berpakaian aneh, walaupun ada yang berpakaian seperti tentara, tapi hampir semuanya mengenakan salib berbentuk sepetak kain merah yang dijahitkan di pakaian mereka. Konyolnya, tantara salib itu terang-terangan mengatakan bahwa kedatangan mereka untuk menaklukkan Yerussalem yang didahului dengan menaklukkan Nicea, Arslam melacak rute yang telah dan akan mereka lalui, menyiapkan penyergapan, lalu, menghancurkan, menyapu bersih seperti semut, membunuh banyak, menangkap dan menawan lainnya, mengejar sisanya, sampai segelintir kembali ke Bizantium, membuat laporan.
Namun, Arslan tidak mengerti, jika pasukan yang ia hancurkan seperti semut itu hanyalah rekrutan dari semua golongan lapisan masyarakat, petani, tukang, pedagang, bahkan wanita dan anak-anak. Mereka bukan tentara profesional. Mayoritas adalah para pemuda yang putus asa, tidak tahu mahu kerja apa, karena lahan pertanian telah direbut golongan bangsawan penindas. Gelombang pertama pasukan salib adalah rintisan dari rangkaian gerakan penyerangan yang akan menngguncang kaum muslimin selama dua abad ke depan, dan akan menjadi dendam sejarah bagi umat Kristen yang apinya tidak pernah padam sampai sekarang. Crusade!
Tragikomedi
Terbukti, tahun berikutnya, 1097 ketika Kilij Arslan mendengar bahwa lebih banyak lagi tentara Franj akan tiba, ia menepis ancaman itu sambil menepuk dada. Dia tidak paham bahwa Tentara Salib gelombang kedua ini benar-benar kesatria pemanah yang dipimpin oleh komandan militer tangguh dan berpengalaman tempur dari negeri-negeri yang menjadikan perang sebagai olah raga di Eropa. Pertempuran kedua pasukan laksana perang penunggang kuda berpakaian ringan menembakkan panah kepada tank lapis baja kesatria abad pertengahan Eropa Barat. Para kesatria tangguh dari pasukan Salib Franj benar-bener memorak-moranda pasukan Islam berdarah Turki itu, merangsek maju tanpa dapat dihentikan. Merebut kota kekuasaan Arslan lalu memaksa penguasanya lari ke salah satu kerabatnya untuk berlindung. Pasukan salib menuju Edessa, selebihnya ke pantai Mediterania menuju Antiokhia.
Raja Antiokhia mengirimkan permohonan pada raja Damaskus, namanya Daquq. Daquq, ingin membantu, tapi cemas tentang kakaknya Ridwan, raja Aleppo yang akan menyerang dan menyambar Damaskus jika ia meninggalkan kotanya. Penguasa Mosul setuju untuk membantu, tapi dia juga sedang sibuk berperang dengan orang lain di sepanjang jalan, dan ketika akhirnya tiba terlambat, dia terlibat pertempuran dengan Daquq yang juga tiba terlambat, kedua pasukan muslim itu akhirnya pulang dengan tangan hampa.
Dalam sejarah Islam, inilah Perang Salib untuk kali pertama. Membacanya, laksana sebuah tragikomedi persaingan internal dimainkan di satu kota dengan kota lainnya. Ketika Antiokhia jatuh di tangan pasukan salib, para kesatria melakukan balas dendam atas sedikit perlawanan dari kota itu dengan pembantaian dan pembunuhan secara acak, lalu terus bergerak ke selatan, menuju sebuah kota bernama Ma’ara.
Mendengar apa yang terjadi di Nicea dan Antiokhia, secara psikologis penduduk negeri Ma’ara sudah kalah sebelum bertarung. Kesatria salib mengepung mereka, sampai akhrinya terjadi negosiasi dengan pemimpin Ma’ara dan pasukan salib: kami akan masuk ke kotamu tanpa merusak apa pun, dan membiarkan kalian bebas, tidak ada pertumpahan darah walau setetas, demikian janji para ksatria. Dan, pihak Ma’ara setuju, membukakan mereka pintu gerbang kota.
Apa yang terjadi, terjadilah. Begitu tentara salib masuk kota dengan mulusnya, mereka bukan hanya melakukan pembantaian. Mengamuk secara menakutkan, bahkan sampai merebus orang muslim dewasa untuk sup dan menusuk anak-anak sebagai sate, memanggang mereka di atas bara api, lalu menyantap.
Albert Aix yang ikut dalam penaklukan Ma’ara, sebagaimana dinarasikan Tamin Ansary, menulis, Pasukan kami bukan hanya tidak segan-segan memakan bangkai orang Turki dan Saracen, mereka juga memakan anjing, (Tamim Ansary, 2009).
Pernyataan ini dengan jujur menegaskan bahwa pasukan perang salib selain biadab juga kanibal, dan memiliki selera menyantap orang Turki muslim lebih baik daripada memakan anjing.
Ketika tentara salib berpesta-pora dari satu negeri ke negeri lainnya, menebar teror dan muslihat, Wazir Mesir, di bawah Dinasti Fathimiyah, Afdhal, mengirim surat pada kaisar Bizantium mengucapkan “Selamat atas kesuksesan pasukan salib” dan mengharapkan mereka jadi aliansi untuk menjadikan pasukan salib jauh lebih berhasil. Memang, selama ini, Seljuk dan Abbasiyah yang Sunni selalu tidak akur dengan Fathimiyah yang Syiah, dan kedatangan pasukan salib yang menguasai negeri-negeri Sunni adalah laksana hadiah dan bala bantuan bagi Dinasti Syiah Fathimiyah.
Karena itu, Dinasti Fathimiyah mencoba membujuk kaum salibis, bahwa ia ingin Yerussalem di bawah kendalinya, dan pasukan salib dapat masuk ke kota suci itu sebagai tamu terhormat. Tapi, pasukan kristen itu menjawab, bahwa mereka tidak butuh perlindungan, untuk Yerussalem, mereka akan datang dengan ‘pedang terhunus’.
Pasukan salib, datang melintasi kota-kota kosong sebelum sampai ke Yerussalem. Para penduduk lari bersembunyi ketika mereka lewat. Sesampai di kota suci, Yerussalem, mereka terkendala dengan dinding kota yang terkunci dengan tembok begitu perkasa dan tinggi. Pengepungan terjadi selama empat puluh hari, lalu mencoba menggunakan taktik seperti sebelum masuk Ma’ara. Buka pintu gerbang, tak seorang pun akan dirugikan, kata mereka pada pemerintah Yerussalem.
Setelah masuk kota suci dambaan mereka, pasukan salib terlibat pembantaian, pertumpahan darah begitu tragis, dan drastis, dengan tumpukan kepala, tangan, dan kaki di sepanjang jalan. Mereka menumpahkan darah ‘orang kafir’ hingga sampai selutut. Membunuh sedikitnya 70 ribu orang muslim dan juga Yahudi dalam jangka hanya dua hari. Awalnya orang Yahudi mencari aman dengan mengungsi ke sinagoge utama mereka yang besar, tetapi ketika kumpul di sana untuk berdoa dan keselamatan, tentara salib menutup semua pintu dan jendela, lalu membakar bangunan itu menghanguskan hampir seluruh warga Yahudi Yerussalem dalam sekali sambar.
Penduduk asli yang Kristen pun tidak benasib begitu baik. Ini karena tak satu pun dari mereka sebagai jemaat Gereja Roma, melainkan berasal dari gereja Timur seperti Yunani, Armenia, Koptik, atau Nestorian. Pasukan Salib Franj memandang mereka sebagai sempalan dan ahli bid’ah akidah juga ibadah, dan sebagaimana mereka pandang, bid’ah kadang lebih buruk daripada kafir. Akhirnya, Franj menyita harta milik penganut Kristen Timur ini lalu mengirim mereka ke pengasingan.
Pencaplokan Yerussalem menjadi titik penting dalam invasi Franj. Pasukan salib yang menang lalu memproklamirkan kerajaan Yerussalem tempat yang menduduki peringkat tertinggi di antara keempat negara lebih kecil yang berhasil direbut tentara salib Franj, lainnya adalah kerajaan Antiokhia, Kabupaten Edesse, dan Tripoli.
Itulah keempat negeri yang menjadi kerajaan tentara Salib, berkembang dalam kemuraman selama beberapa dekade. Kedua belah pihak terus mengalami bentrokan secara sporadis selama beberapa dekade, Salibis Franj kerap memenangkan pertempuran melawan kaum muslimin, tapi kerap pula menelam kekalahan. Memukul umat Islam, atau terkena pukulan, dan mereka juga kerap bertengkar antar sesama, sebagaimana kaum muslimin. Bahkan, kadang terpaksa akur dengan mengadakan kesepakatan bersama pengkhianat dari dari kedua belah pihak. Islam dan Kristen.
Dalam satu pertempuran Raja Tancred yang Kristen dari Antiokhia berperang melawan amir muslim Jawali dari Mosul. Sepertiga dari pasukan Tancred saat itu terdiri dari prajurit Aleppo, yang bersekutu dengan Kaum Hashasin dan memiliki hubungan erat dengan para tentara salib.
Hashashin-Syiah
Namun, tidak semua perang dan kekacauan antarsesama umat Nabi Muhammad berlangsung secara spontan, sebab, ada yang bermain di belakang layar, menjadi skenario dan produser, supaya umat terus menerus berada dalam kubang perselisihan.
Hashashin, sibuk di belakang layar, menjadi aktor dan produser kenistaan. Misalnya, tepat sebelum Perang Salib dimulai, Hassan Sabbah telah mendirikan basis operasi kedua di Suriah, dikelolah oleh bawahan yang kelak dijuluki oleh Tentara Salib sebagai Si Tua dari Gunung (the old man of the mountain). Pada saat perang berlangsung hampir semua yang bukan Hashashin benci pada Hashashin, setiap kekuatan di negeri itu berusaha memburu mereka, musuh kaum Hashashin, termasuk Dinasti Fathimiyah yang berpaham Syiah, dan tentu saja negeri-negeri Sunni, seperti Turki Seljuk, dan Khalifah Abbasiyah. Pada saat yang sama, tentara Salib pun berperang melawan seluruh musuh Hashashin. Maka secara de facto Hashashin dan Tentara Salib Franj memiliki himpunan musuh yang sama, sehingga mereka bersekutu, sebuah kolaborasi yang sempurna.
Hashashin yang lebih populer di Barat dengan sebutan “Assassin” adalah salah satu cabang dari Syi’ah Ismailiyah. Mereka mendirikan beberapa pemukiman di Suriah, Iran, Irak, dan Lebanon. Mereka mengirim orang yang berdedikasi untuk membunuh pemimpin penting Sunni, yang dianggap mereka sebagai “kaum kafir perebut takhta”, (https://en.m.wikipedia.org/wiki/Hashasin). Tentu saja sangat keliru jika menyederhanakan Hashashin hanya sekadar ‘Pembunuh Bayaran’ seperti dimaknai dalam kamus Barat.
Mereka adalah kawanan teroris, mafia, atau bandit dengan jumlah pasukan memadai, terorganisir dengan rapi, terlatih dengan apik, memiliki kemampuan membunuh siapa dan apa pun yang dapat dilihat mata kepala. Teroris karena kerjaan mereka selalu menebarkan teror di seluruh penjuru negeri, sebagai mafia, mereka sangat oportunis, dapat bersekutu atau bekerja dengan siapa pun yang penting menguntungkan, termasuk jin dan iblis, dan sebagai bandit karena tidak ada hukum yang ia taati kecuali hukum sesuai dengan kepentingan, dan jika menguntungkan mereka. Namun, lebih dari semua itu, Hashasin, didorong oleh sebuah ideologi Syiah, memandang, bahwa umat Islam mana pun, selain dari sekte mereka sesat dan harus ditumpas. Maka, kolaborasi dengan para kesatria Salib adalah sebuah kesempurnaan untuk menghancurkan umat. Hashashin dari dalam, ldari luar oleh Salibis Franj.
Tidak ada yang tahu secara pasti, kapan Hashashin ini muncul, namun menurut Syamsuddin Arif, yang pakar dalam segala aspek terkait Ibnu Sina (980-1037 M) menyebut bahwa Ayah Ibn Sina yang menjabat sebagai gubernur Bukhara di bawah Khalifah Al-Amir Nur bin Mansur, kerap menyetor upeti sebagai ‘jatah preman’ pada kawanan Hashashin. Lalu di sinilah muncul persepsi liar dari kalangan Syiah bahwa Ibnu Sina adalah penganut Syiah. Padahal tidak ada bukti dalam bentuk apa pun, jika ia menganut aliran menyesatkan tersebut, andai itu benar, maka pasti dapat dilacak dalam karya tulisnya yang mencapai 450 buah. Hanya saja, didapati beberapa pandangannya dalam ranah akidah dipandang menyimpang, namun tidak mengeluarkan dirinya dari Ahlussunnah apalagi sebagai muslim.
Dalam situasi yang kacau balau di negeri-negeri muslim. Seruang jihad di kumandangkan beberapa ulama dan pemimpin yang paham akan situasi. Menggelorakan bahwa perang ini didorong atas nama agama, Yerussalem direbut, dan umat Islam dari satu negeri ke negeri yang lain dibantai. Tapi, sebagian besar umat melihat bahwa jihad adalah hal aneh, kata itu hanya ada dalam kitab dan diktat, bukan dalam realisasi dengan mengangkat senjata atau dalam arti qital. Tidak ada jihad, karena selama ini perang yang terjadi adalah antarsesama negara atau kelompok muslim. Selain, hanya sekadar untuk mendapat hadiah harta rampasan, dan kekuasaan dalam daerah baru yang tertaklukkan. Perang, saat itu bagi umat Islam semacam perpecahan dan kekacauan yang terus terawat.
Selama abad pertama invasi Pasukan Salib Franj, setiap kali kaum muslim mulai bergerak ke aras persatuan, Hashashin membunuh para tokoh kunci, yang memantik gejolak baru. Misalnya, pada tahun 1113 M, Gubernur Mosul mengadakan konferensi para pemimpin muslim, untuk mengatur serangan bersatu melawan Franj. Akan tetapi, tepat sebelum pertemuan dimulai, seorang pengemis mendekati gubernur dalam perjalanan ke masjid, pura-pura meminta sedekah, lalu tiba-tiba menikamkan sebilah pisau di dadanya dan, serangan bersatu itu pun pupus.
Sebelas tahun kemudian, 1124, agen Hashashin membunuh ulama paling berpengaruh kedua yang menyerukan jihad. Tahun berikutnya, sekelompok yang diduga sufi menyerang dan membunuh khatib yang selalu menyulut api jihad. Tahun 1126, Hashashin kembali membunuh Al-Borski, raja tangguh Aleppo dan Mosul yang, dengan menyatukan kedua kota besar itu, dapat membentuk benih sebuah negara muslim bersatu di Suriah. Baroski bahkan telah berjaga-jaga dengan mengenakan baju besi di bawah pakaiannya, karena ia tahu, Hashashin mengintai. Tetapi saat beberapa sufi gadungan menyerangnya, salah satu dari mereka berteriak, Sasar Kepalanya! Mereka tahu tentang baju besinya. Baroski pun tewas. Putranya naik tahta, seperti ayahnya, ia kambali menyerukan persatuan untuk melawan pasukan Salib, namun, Hashashin juga membunuhnya, lalu empat bersaudara mengklaim tahta kembali membenamkan Suriah dalam kubang perang antarasesama saudara.
Sejak awal perang salib, pembunuhan demi pembunuhan terhadap tokoh-tokoh kunci berpengaruh kerap terjadi, walaupun beberapa peristiwa tidak terbukti sebagai perbuatan Hashashin, namun karena ibarat sinetron yang diputar berulang-ulang, pembedanya hanya pada setting waktu dan sasaran, namun aktornya cenderung itu-itu saja, maka masyarakat lambat-laun akan tahu dan mengarah pada satu muara: Teroris Hashashin.
Gelombang yang akhirnya mulai menerpa dan mengancam para kesatria Salib Franj adalah serentetan pemimpin muslim yang masing-masing lebih besar dari yang pernah ada. Yang pertama di antara mereka adalah Jenderal Zangi dari Turki, yang memerintah Mosul, lalu mengambil Aleppo, dan kemudian menyerap kota-kota lainnya yang dikuasai Franj, dan pada akhirnya membuat sebuah teritorial yang ia sebut Suriah Bersatu, Zangi adalah rajanya. Inilah kebangkitan awal sejak lima puluh tahun, sebuah negara Islam lebih besar daripada satu kota dan sekitarnya di Syam.
Pasukan Zangi dihormati karena dia sosok prajurit arketipal. Hidup apa adanya sebagaimana rakyatnya, makan apa yang mereka makan, dan tidak angkuh. Dia lalu menebar semacam propaganda bahwa umat Islam memiliki musuh bersama (common enemy) lalu mengatur kampanye melawan musuh itu. Pertama, ia menyaring habis seluruh kelemahan mesinnya dengan melenyapkan para penjilat dari istana serta para pelacur dari pasukannya, dan terpenting, dia membangun jaringan informan propagandis di seluruh Suriah untuk memastikan semua gubernurnya tetap sejalan.
Tahun 1144, Sang Jenderal menaklukkan Edessa, yang menahbis dirinya menjadi pahlawan bagi dunia muslim. Edessa bukanlah kota terbesar di Timur, tapi merupakan kota pertama yang cukup besar yang berhasil direbut kembali kaum muslimin dari pasukan Salib, dan dengan merebut Edessa berarti merampas salah satu dari empat ‘Kerajaan Tentara Salib’, dan gelombang harapan mulai menjalar ke segenap pelosok Syam, di lain pihak, gelombang kecemasan telah menerpa Eropa Barat, lalu menginspirasi para raja dan pemuka agama untuk melancarkan: perang salib kedua.
Zangi, mendorong dan mendukung para khatib di masjid-masjid untuk mengobarkan semangat jihad sebagai alat mempersatukan umat, dan itu sangat efektif. Sayangnya, Sang Jenderal juga memiliki kekurangan secara internal-personal, karena ia seorang pemabuk, dan penengkar bermulut kotor, yang juga ditularkan pada anak buahnya, dan tentu saja tidak disenangi para ulama, karena tidak layak memimpin pasukan jihad.
Namun teori Ibnu Taimiyah benar, bahwa pemimpin fasik kadang bisa diterimah jika memiliki ketangguhan dalam mengatur bawahan dan menyusun strategi. Memakmurkan rakyat dan mengenyahkan musuh. Kadang lebih bisa diterima daripada pemimpin salih secara individu, namun lemah dalam manajerial dan tidak paham strategi membangun bangsa, apalagi melawan musuh, lalu dikelilingi para penjilat dan pelacur.
Jasa Jenderal Zangi adalah, bahwa ia telah menciptakan sebuah gerakan anti-Salibis yang dapat dilanjutkan oleh penguasa lain yang saleh, dan maju ke depan sebagai panglima jihad. Ia telah membangun kanal untuk diairi generasi mendatang.
Itulah kenyataannya, putra penerus tahtanya, Nuruddin Zangi namanya, memiliki sifat-sifat yang tidak dimilik ayahnya. Meskipun memiliki energi kemiliteran sama dengan ayahnya, Nuruddin berperawakan lebih halus, diplomatik, dan saleh. Dia menyerukan umat Islam untuk bersatu berpegang teguh pada ajaran Ahlussunnah wal-Jamaah karena itu, sejarawan Barat menjulukinya sebagai pemimpin dogmatis, dan menjadikan jihad sebagai salah satu tujuan dalam beragama. Ia telah menghidupkan citra tentang orang adil dan saleh yang berjuang bukan untuk ego, atau kekayaan, kekuasaan, tapi untuk umat. Dan, telah membangunkan umat dari mimpi panjang, mengembalikan kesadaran mereka, dan hebatnya, ia dapat memelihara semangat jihad yang dapat digunakan penguasa lain yang lebih besar dan mampu menyusun kemenangan politik dalam arti sesungguhnya. Dalam kisahnya, Nuruddin Zangi, pernah bermimpi berkali-kali, Nabi minta tolong padanya, kenyataannya, ada orang Yahudi sedang menggali kuburan Nabi untuk mencuri jasadnya.
Sang Penyelamat
Pemimpin dan penguasa yang datang itu adalah Salah Al-Din Yusuf ibn Ayub, orang Barat menyebutnya, Saladin, dan umat Islam mengenalnya sebagai Salahuddin Al-Ayyubi. Ia adalah keponakan salah satu jenderal tinggi Nuruddin.
Pada tahun 1163, Nuruddin mengirim paman Salahuddin untuk menaklukkan Mesir di bawah Dinasti Fathimiyah, ia memang Ahlussunnah yang paham akan bahaya dan kesesatan Syiah. Sekaligus untuk jaga-jaga jangan sampai direbut oleh tentara Salib, dan jenderal itu membawa serta ponakannya. Sang Jenderal berhasil merebut Mesir, dan tak begitu lama kemudian, ia pun wafat, meninggalkan Salahuddin sebagai pewaris tanggungjawab. Secara resmi, Mesir masih milik Dinasti Fathimiyah, namun kekuasaan sesungguhnya milik wazirnya, dan pengadilan Mesir dengan senang hati menerima Salahuddin sebagai wazir baru pengganti sang paman, terutama karena ia masih muda, baru berumur 29 tahun, dan para pembesar istana berpikir bahwa usia muda dan minimnya pengalaman akan membuat ia mudah diperalat.
Salahuddin, di bawah bayang-bayang pamannya, hanya sedikit menunjukkan tanda-tanda kebesarannya. Berwatak diam dan bersahaja, tidak menunjukkan kecendrungan untuk berperang apalagi ambisi sebagai penguasa. Segera setelah mengambil alih Mesir, Nuruddin memerintahkan untuk menghapus secara total Dinasti Fathimiyah. Di saat yang sama, Pemimpin Dinasti yang Syiah itu, adalah seorang pemuda yang baru berusia dua puluh tahun namun sakit-sakitan. Ia benar-benar tidak memerintah, hanya sekadar boneka para pembesar istana. Salahuddin menunaikan perintah Nuruddin secara lembut namun terencana. Menggulingkan Khalifah Fathimiyah secara perlahan, sehingga Sang Khalifah bahkan tidak mengetahui akan hal itu. Suatu Jumat, Salahuddin hanya mengatur agar seorang warga negara berdiri di atas mimbar membaca khutbah atas nama Khalifah Abbsiyah di Bagdad. Tak ada seorang pun yang protes, dan tindakan penggulingan yang lembut namun jitu itu, tuntas. Sedang, pemimpin dinasti yang muda dan sakit-sakitan itu pun kemudian wafat tanpa ia sadar bahwa dirinya telah menjadi warga biasa dan dinastinya talah lenyap. Lalu, menjadikan Salahuddin sebagai penguasa tunggal Mesir.
Atasannya di Suriah, Nuruddin selalu mengatur pertemuan dengan sang bawahan, Salahuddin. Namun, bawahannya selalu ada alasan untuk tidak bertemu dan mengelak. Dia menyadari, jika bertemu dengan atasan akan terjadi pemutusan hubungan, karena kehebatannya sudah melebihi atasannya, namun, dia berfikir, senior tidak mesti diperlakukan tidak sopan. Ia bertahan, bahwa dirinya adalah bawahan Nuruddin sampai atasannya meninggal dunia. Kemudian, Salahuddin menyatakan dirinya adalah penguasa tunggal Mesir dan Suriah. Beberapa pengikut Nuruddin mengutuknya, dan menyebutnya pemula yang sombong dan tak tahu diri, tetapi mereka berenang melawan arus sejarah. Sang Penyelamat telah tiba.
Salahuddin, berperawakan kecil, tampangnya seperti orang termenung, sorot matanya melangkolis. Tetapi ketika tersenyum, dia bisa memecahkan keheningan ruangan. Sangat dermawan, sampai-sampai memiskinkan dirinya sendiri, rendah hati terhadap yang lemah, tapi gagah di hadapan orang kuat. Tak ada yang dapat mengintimidasi dirinya, namun, kharismanya dapat mengintimidasi seluruh musuhnya. Sebagai seorang pemimpin militer, dia terbilang kawakan, tapi tidak istimewa. Kukuasaan dan kekuatannya, hakikatnya terletak pada kenyataan bahwa rakyat amat mencintainya. Kehidupan pribadinya amat zuhud, dan kerasnya terhadap diri sendiri, sebagaimana atasannya dahulu, Nuruddin, namun tidak menuntut orang lain atau bawahannya untuk ikut seperti dirinya. Para pengkhianat dan penjilat yang datang kepadanya justru heran, karena diberi hadiah atas kelakuannya. Dan inilah manusia yang pernah berkata, Bagiku, uang dan debu tidak ada bedanya!
Hashashin berusaha keras untuk membunuh Salahuddin, sebagaimana yang kerap mereka lakukan pada penguasa sebelumnya. Dua kali mereka menerobos langsung ke kamar tidurnya ketika ia sedang terlelap. Sekali mereka melukainya di kepala tetapi dia sedang mengenakan penyangga leher dari bahan kulit dan helm logam di bawah serbannya. Setelah dua percobaan pembunuhan, Salahuddin memutuskan untuk menumpas habis Hashashin. Dia merencanakan pengepungan benteng mereka di Suriah.
Apa yang terjadi terjadilah. Hashasin yang digambarkan sebagai teroris, mafia, dan bandit yang bagitu besar pengaruhnya bagi imajinasi publik, dan setelah membuat dua kali percobaan pembunuhan pada Salahuddin, justru menggali lobang kuburan sendiri, dan menjadikan Salahuddin laksana Hang Tuah dalam sejarah heroik dunia Melayu-Indonesia. Tak terkalahkan!
Salahuddin, tidak pernah mengumumkan bagaimana memotong jantung kekuatan dan kehidupan Hashashin, yang jelas, setalah pengepungan itu, Hashashin benar-benar telah disapu lalu dimasukkan dalam kuburan galian mereka sendiri. Walaupun, masih ada yang tersisa, itu hanya sel-sel kecilnya yang berserakan di mana-mana, dan tidak pernah terdengar lagi gaungnya. Walaupun sejarah pernah mencatat bahwa Hashashin pernah berusaha membunuh Hulagu pada tahun 1226 M, namun dia gagal, kemudian kisah Hashashin lenyap sama sekali.
Para sejarawan mencatat kemenangan demi kemenangan diraih Salahuddin dalam berbagai peperangan. Tapi, sesungguhnya kemenangan itu bermula ketika ia berhasil menyapu bersih para pentolah Hashashin-Syiah, dan perlahan namun pasti, mengunci mereka dalam ‘tong sampah sejarah’.
Salahuddin bergerak dengan hati-hati, menyatukan umat dan melunakkan musuh-musuhnya. Dia tipikal penguasa yang suka, jika musuhnya kalah sebelum perang. Dan, perang hanya meledak jika semua jalan damai telah sumbat. Lihatlah, dia berusaha merebut kembali semua apa yang pernah dicaplok tentara salib tanpa melalui pertumpahan darah secara sengit, walau ia mampu memanggang musuhnya dalam perapian satu persatu: cukup dengan pengepungan, embargo ekonomi, dan negosiasi.
Tahun 1187, ketika pindah ke Yerussalem, dia memulai dengan mengirim semacam proposal perdamaian berisi ‘pengusiran’ agar Tentara Salib Franj segera angkat kaki dari kota suci Yerussalem dengan damai. Sebagai konpensasi, orang Kristen yang ingin ikut dapat membawa harta benda milik mereka untuk kembali ke Eropa. Dan, orang Kristen yang ingin tetap di sana boleh-boleh saja, dan dapat mengamalkan agama mereka tanpa gangguan. Gereja akan dilindungi dan, para peziarah akan dipersilahkan masuk-keluar dengan aman. Terang saja, para kesatria salibis tak ingin melepaskan Yerussalem, karena itu adalah kemenangan hakiki mereka dan tujuan dari seluruh perang dan penaklukan. Salahuddin, lalu mengepung kota suci itu, mengambilnya dengan paksa lalu menanganinya persis apa yang pernah dilakukan Khalifah Umar bin Khattab: tidak ada pembantaian, tidak ada penjarahan, dan membebaskan semua tawanan, setelah membayar tebusan.
Walaupun dilakukan dengan lembut, perebutan kembali Yerussalem oleh Salahuddin dengan sepenuhnya mengembalikan apa yang telah dirampas oleh Perang Salib Pertama dalam sejarah Islam, menimbulkan gejolak baru di Eropa dan mendorong tiga raja paling berpengaruh untuk merencanakan serangan Perang Salib ketiga yang sangat terkenal. Salah satunya adalah Frederick Barbarossa dari Jerman, yang jatuh dari kudanya ke dalam air setinggi beberapa inci dan tenggelam dalam perjalanan ke Tanah Suci. Yang lainnya adalah Raja Prancis Philip II, berhasil sampai ke Yerussalem, mengambil bagian dalam penaklukan pelabuhan Acre, dan kamudiaan pulang kelelahan.
Yang tersisa tinggal Raja Inggris Richard I, dikenal bangsanya sebagai Hati Singa. Dia adalah perajurit perang yang tangguh, tetapi ia tidak layak menjadi kesatria teladan: dia mudah mengingkari janjinya dan rela melakukan apa saja demi memenangkan peperangan. Dia, dan Salahuddin saling berhadapan selama satu tahun, dan Richard memenangkan pertempuran utama mereka, tapi ketika mengepung Yerussalem pada Juni 1192, penyakit telah mengurangi kekuatannya dan udara panas membuatnya sesak napas. Salahuddin mengiriminya dokter dan buah segar serta salju dingin lalu menunggu Richard menyadari bahwa dia tidak memiliki cukup kekuatan untuk merebut kembali Yerussalem. Akhirnya, Richard setuju berdamai dengan Salahuddin, dengan syarat: kaum muslimin akan tetap memiliki Yerussalem, tetapi melindungi gereja-gereja milik orang Kristen, dan membiarkan mereka menjalankan iman tanpa gangguan, juga membiarkan para peziarah datang dan pergi sesuka hati. Richard dan segenap pasukan perang salib yang tersisa beranjak pulang, didahului oleh berita bahwa dia telah meraih semacam kemenangan di Tanah Suci. Ini terasa lucu, sebab kenyataannya, dia menyetujui persis seperti yang ditawarkan Salahuddin sejak awal. Dan, telah diperaktikkan selama perebutan kembali Yerussalem.
Setelah perang salib ketiga usai, tidak banyak lagi hal penting yang berlaku, ada pun perang-perang yang terjadi, misalnya pada tahun 1206 di mana pasukan salib hanya kelelahan di sepanjang jalan, sebab dipukul mundur oleh pasukan yang ada di kota-kota Islam rute menuju Yerussalem. Dan, pada pertengahan abad ke-13, seluruh dorongan perang salib telah melemah di Eropa dan pada akhirnya pupus.
Penutup
Kekalahan Pasukan Salib telah menjadi dendam sejarah dan berusaha untuk membayarnya, walaupun pada dasarnya umat Islam memandang bahwa perang telah usai, tidak ada dendam, dan hanya merebut kembali apa yang menjadi hak milik mereka. Selain itu, pasukan salibis selama pencaplokannya di berbagai negeri Muslim tidak membawa apa-apa kemajuan apalagi peradaban, yang diingat hanya kebengisan dan kebiadaban bahkan kanibalisme. Mereka justru menangguk ilmu dan meniru peradaban yang ada di negeri Timur, membawa balik ke Barat, lalu menyusun strategi, dan kembali ke Timur pada beberapa abad kemudian, dalam bentuk formasi pasukan salibis yang jauh lebih canggih, di saat umat Islam sedang tidur terlelap berkubang kemalasan, kemunduran, dan kejumudan.
Kini, episode perang salib terus terulang, dan umat Islam terus saja berada dalam tekanan, terutama pasca pencaplokan Yerussalem melalui tangan Yahudi pada abad ke-19. Setiap ada yang bersuara untuk menyatukan umat, maka, ia akan dicap radikalisme dan terorisme. Nampaknya, Hashashin tetap ada di balik layar dalam bentuk yang berbeda, sayang umat terlalu lugu dan mudah diadu-domba.
Negara-negara Islam di bawah Ahlussunnah satu-persatu rontok dan jatuh dalam lubang ular, sebagaimana yang terjadi di Irak, Mesir, Libiya, Lebanon, Suriah, dan kini Yaman.
Negara-negara di kepulauan Nusantara pun jadi target, kaum Hashasin tersebar dengan formasi elegan, mengajak persatuan tapi menebar racun pada umat dengan memaki dan mengumpat sahabat Nabi. Hashasin-Syiah dapat bekerjasama dengan siapa dan apa pun untuk merontokkan Ahlussunnah, karena itu jangan heran jika muslim Rohingya dibantai lalu diusir oleh Buddha Miyammar, para penggiat HAM-Barat cuek saja, atau muslim Tolikara-Papua odilempari baru ketika salat Ied dan dibakar masjid, rumah dan tempat usahanya oleh Umat Kristen, Hashashin bersuka ria. Wallahu A’lam
Oleh: Ilham Kadir, Peneliti MIUMI dan Kandidat Doktor Pendidikan Islam UIKA Bogor
Sumber : Ilham Kadir
Panjang namun juga informatif. Terima kasih untuk sejarahnya :)
BalasHapus