Seputar Dunia Islam

Sabtu, 15 April 2017

Jihadnya Pakubuwono IV dan Makar Yang Menghancurkannya

Nama kecilnya adalah Bendara Raden Mas Sambadya, terlahir dari permaisuri Pakubuwana III yang bernama Gusti Ratu Kencana. Dilahirkan pada hari Kamis Wage, 18 Rabiul Akhir 1694 atau 2 September 1768. Setelah diangkat menjadi raja dia pun mendapat gelar Sri Susuhunan Pakubuwana IV.

Tidak seperti ayahnya, yang cenderung inferior dan patuh di hadapan VOC, Pakubuwana IV justru menjadi sosok raja yang sangat membenci VOC. Kecerdasannya serta pribadinya yang religius telah membawanya kepada cita-cita yang terasa utopis pada masa itu. Yaitu, menyatukan kembali Mataram dan memberlakukan hukum Islam di dalamnya.

Pakubuwana IV tampaknya paham betul bahwa konsep ulil amri dalam Islam adalah sinergi antara ulama dan umaraa (penguasa). Tanpa ulama penguasa akan cenderung bertindak lalim, sementara ulama tanpa penguasa akan berarti sebuah kematian bagi ilmu-ilmu yang dikuasainya. Maka dari itu, dia mengangkat empat orang ulama sebagai abdi dalem kinasih (abdi dalem terpercaya), yaitu Kiai Nur Saleh, Kiai Wiradigda, R. Panengah, dan Kiai Bahman.

Untuk mengurangi pengaruh adat istiadat Hindu yang masih berakar di masyarakat Surakarta, Sunan secara langsung mendatangkan para ulama dari luar daerah untuk terjun berdakwah ke masyarakat. Salah satunya adalah kiai Jamsari yang datang dari daerah Banyumas, dia ditempatkan di wilayah sebelah barat daya keraton Surakarta yang pada hari ini dikenal sebagai kampung Jamsaren. Di sana, ia mendirikan sebuah masjid yang menjadi pusat tempat dakwahnya. Karena merupakan utusan raja, pada akhirnya tidak hanya masyarakat umum yang mengikuti pengajiannya, namun para bangsawan dan pejabat istana pun penasaran dengan pengajiannya. Sehingga pada akhirnya ajaran Islam yang diserukan kiai Jamsari dapat diterima dan dipahami dengan baik oleh semua kalangan.

Dalam hal peradilan, Pakubuwana IV menjadikan pengadilan surambi (agama) sebagai pengadilan tertinggi. Ruang lingkupnya pun diperluas, di mana tidak hanya mengurusi persoalan seputar perkawinan dan warisan saja, namun juga mengurusi perkara-perkara jinayat (pidana). Vonis hukuman pada pengadilan surambi dikenal dengan istilah Kisas. Meskipun memiliki kemiripan nama, namun secara terminologis berbeda dengan istilah Qishash dalam Al Qur’an.

Di dalam Al Qur’an, Qishash merupakan pemberian hukuman terhadap pelaku kejahatan yang di mana bentuk hukuman tersebut serupa dengan apa yang telah dilakukannya. Misalnya, apabila seseorang terbukti membunuh dengan sengaja, maka dia akan dibunuh juga. Dan juga apabila seseorang terbukti dengan sengaja mencederai mata seseorang hingga sang korban kehilangan fungsi penglihatannya, maka dia pun akan dijatuhi hukuman serupa.

Sementara istilah Kisas maknanya lebih luas, tidak terbatas pada kasus pembunuhan, namun hukuman untuk pencuri pun disebut dengan kisas, sebagaimana dikutip dalam serat sultan surya ngalam: “Yen ana wong mamaling kalebu kisas, kisasana tugelen tangane tengen, yen kongsi ganep pindho, tugelen tangane tengen kiwo, yen ganep ping telu tugelen sukune tengen, yen ganep ping pat, tugelen sukune tengen kiwo.” (Jika ada orang mencuri maka dia terkena kisas, kisaslah dengan memotong tangan kanannya. Jika diulangi untuk kedua kalinya, potonglah tangan kirinya. Jika diulangi lagi ketiga kalinya, potonglah kaki kanannya. Dan jika diulangi kemmpat kalinya, potong kaki kirinya).

Sunan juga mempopulerkan istilah diyat mugalalah dan diyat mupakakah, mengadopsi pembagian diyat menurut madzhab syafii yaitu diyat mughalladzah sebagai hukuman atas pembunuhan yang dilakuakan secara sengaja ataupun menyerupai sengaja (syibhul ‘amd), dan diyat mukhaffafah sebagai hukuman atas pembunuhan terjadi karena kesalahan (khata’).

Maka dari itu, Sunan pun membentuk tim eksekutor yang dinamai Abdi Dalem Singanagara, tugasnya memotong leher terdakwa yang dijatuhi hukuman mati dengan keris, dan juga memotong tangan dan kaki.

Sunan juga menetapkan aturan yang ketat untuk para abdi dalem, di mana setiap ketidakpatuhan pada ajaran agama akan berujung peringatan, teguran, disposisi jabatan, atau bahkan ada yang dipecat. Dan dalam upayanya mengurangi kejahatan di masyarakat, Sunan secara tegas dan terang-terangan mengharamkan minuman keras dan opium.

Sunan Pakubuwana IV menjadikan ibadah shalat jumat sebagai momen untuk berbaur dengan rakyatnya. Di mana setiap hari jumat dia selalu shalat jumat di masjid agung dan tak jarang bertindak sebagai khatib.

Berbagai kebijakan yang diambil Sunan tersebut memang tak bisa disebut sekedar bernuansa Islam, namun memang benar-benar bernafaskan Islam. Hal ini tentu membuat VOC khawatir, mereka pun menghasut pejabat-pejabat yang tersisih untuk melakukan perlawananan. Selain itu mereka juga menghasut kasultanan Yogyakarta serta pura Mangkunegaran, pihak VOC menyampaikan bahwa mimpi Pakubuwana IV untuk menyatukan Mataram secara tidak langsung akan mendelegitimasi kedaulatan mereka.

Akhirnya, pada bulan November 1790 ribuan pasukan koalisi VOC, Mangkunegaran,dan Yogyakarta pun mengepung keraton Surakarta yang hanya dikawal ratusan orang. Mereka menuntut Sunan agar menyerahkan keempat ulama yang menjadi abdi dalem kinasih, apabila tuntutan tidak dipenuhi Sunan akan diturunkan secara paksa dari takhtanya. Menurut pihak koalisi, keempat ulama tersebut telah memberikan pengaruh tidak baik kepada Sunan. Sampai-sampai pihak kasultanan Yogyakarta menuliskan dalam Babad Mangkubumi bahwa doktrin-doktrin para ulama tersebut adalah sihir yang menyeleweng dari ajaran Rasul.

Para pejabat keraton yang selama ini kurang menyukai kebijakan islamisasi Sunan pun mulai mempengaruhi Sunan untuk memenuhi tuntutan para pengepung ketimbang harus kehilangan takhtanya. Hal ini membuat Sunan gamang dan pada akhirnya bersedia memenuhi tuntutan tersebut.
Meskipun Sunan Pakubuwana IV pada akhirnya menyerahkan keempat abdi dalem kinasih, bukan berarti Sunan mengabaikan nasib mereka. Setelah pengepungan itu berakhir, Sunan melanjutkan perjuangannya melalui jalur advokasi sehingga mereka berempat tidak sampai dijatuhi hukuman mati.

Disclaimer : Dalam tulisan ini penulis memang tidak menyertakan referensi. Karena sejatinya tulisan ini hanyalah sebuah ikhtisar dari LAPSUS SYAMINA Edisi 14/Oktober 2016 yang berjudul “PAKEPUNG 1790, Penggagalan Upaya Penerapan Syariat Islam di Keraton Surakarta oleh Belanda dan Sekutunya”.

Source : Kiblat.net

0 komentar:

Posting Komentar