Seputar Dunia Islam

Rabu, 17 Februari 2016

Perjalanan Seorang Atheis Menemukan Islam



Kisah seorang atheis yang menemukan cahaya Islam diuraikan dengan gaya bertutur yang diterjemahkan sesuai penuturannya didalam video di Youtube. Berikut ini kisahnya.

Sederhananya ceritaku dimulai pada tahun pertama aku kuliah. Aku mengalami tahun dimana banyak masalah menerpaku, orang tuaku bercerai tahun itu, anjingku mati, itu merupakan hari menyedihkan, subhanallah.  Aku mengalami dua kali kecelakaan mobil dalam angka dua minggu. Dan hal yang menyedihkan juga, temanku meninggal tahun itu.

Kupikir tahun itu membuatku berpikir “Kenapa aku disni? Apa tujuan kehidupan? Kenapa aku harus bangun di pagi hari? Kenapa aku peduli? Kenapa aku tidak duduk di sofa dan menonton TV saja?”

Dan kurasa aku mulai bertanya tentang hidup, dan hal itu menuntunku untuk memulai sedikit petualangan rohani.

Secara naluriah sebagai orang Australia, hal pertama yang kulakukan adalah meneliti Kristen. Aku punya beberapa teman yang memeluk Kristen dan aku ingat berpergian ke acara camping gereja. Itu salah satu camping terlucu yang pernah kuikuti sepanjang hidupku.

Setiap orang bernyanyi, aku tidak tahu kata-katanya, aku tidak tahu apa yang kuucapkan. Mereka punya suara yang indah tapi terasa aneh. Dan setiap orang berkata padaku bahwa betapa Tuhan mencintaiku, dan aku berpikir “Tuhan mencintaiku? Tapi kok anjingku mati.” Subhanallah.

Jadi aku terus meneliti Kristen dan aku meneliti aspek berbeda dari kekristenan, jadi kita beralih membicarakan tentang Katolik, kita membahas tentang Anglican, Baptist, pendeta, pastor, dan setiap kali aku pergi ke sana dan bertanya, aku perhatikan mereka tidak mengambil Bible dan mulai berkata “Inilah jawabannya saudaraku.” Mereka langsung menawabku saja. Mereka langsung menjawab dari pendapat mereka sendiri.

Dan aku mulai menyadari ada banyak tafsir dari kekristenan dan banyak orang mempunyai penjelasan masing-masing. Seorang pendeta dari suatu gereja percaya akan satu aspek kekristenan, sementara yang lain memiliki pendapat yang berbeda. Jadi aku mulai berpikir, Bible merupakan satu buku tapi begitu banyak perbedaan dan itu membingungkan.

Pada waktu itu aku berada di tahun pertama kuliah, aku juga bekerja di sebuah pom bensin, salah satu kerja paruh waktuku. Dan salah satu teman kuliahku seorang Hindu, orang Hindu dari India. Kita sering berganti shift dan pada saat itu aku sangat ingin tahu, lalu aku bertanya padanya, “Kawan, apa yang terjadi dengan manusia kepala gajah? Mengapa bisa begitu? Kenapa Tuhan itu mempunyai kepala gajah?” Dia menjawab, “Itu Ganesha.” Aku katakan, “Mestinya kau bisa ganti dengan kepala singa atau sesuatu yang sedikit lebih baik?” Ya, ini debat agama sambil melayani orang-orang membeli bensin.

Dan sekali lagi, kurasa doktrin ini susah untuk dipahami. Jadi kuputuskan untuk menganalisis lebih dalam.

Temanku adalah seorang Mormon. Agama ini sebenarnya lebih menarik bagiku daripada sekte-sekte Kristen yang lain. Gereja dari Latter Day Saints. Mereka cukup ketat. Mereka tidak minum alkohol dan tidak juga minum kafein. Tapi mereka suka minum cola, karena yang kutahu Leboz (orang Libanon) suka cola. Tetapi sekali lagi ada pengalaman rohani baru yang harus kujalani sebelum menganut agama ini dan aku tidak suka hanya mendapatkan pengalaman rohani, aku ingin bukti.

Aku juga meneliti Yudaismne, apakah kalian percaya? Namaku sebelum Abu Bakar adalah Ruben. Jadi jika kalian mungkin nonton film Hollywood, kalian melihat Rubenstein, dan mereka mungkin berpikir bahwa aku seorang Yahudi dan “Orang ini adalah salah satu dari kita.” Tapi sekali lagi, aku tidak menemukan apa yang sedang kucari di sini.

Terakhir, aku mencoba Budha dan kurasa ini adalah agama yang akan kupilih, kupikir ini hebat. Banyak orang-orang kulit putih menganut agama ini dan ini membuatku tertarik. Mereka juga tampak bersatu dengan alam dan itu menurutku paling menarik. Tapi semakin aku mendalaminya, kusadari itu bukanlah sebuah agama Tuhan, itu hanya sebauh gaya hidup yang baik.

Dan salah satu teman baikku yang menganut Kristen mengatakan, “Katakan padaku agama yang telah kau teliti.” Kukatakan semua, “Yudaisme, Kristen, Taosisme, Budha, Hindu.” Dia berkata, “Bagaimana dengan Islam?” Kujawab, “Islam?! Mereka teroris! Aku tak akan meneliti agama itu. Mereka gila! Kenapa juga aku harus meneliti agama itu?”

Tapi setelah beberapa waktu, aku berjalan ke sebuah masjid. Ini adalah perjalanan abadiku. Jadi aku berjalan lurus, masih pakai sepatu, terus melewati karpet untuk shalat. Ada saudara muslim yang sedang shalat, aku berjalan di depannya seiring dia bersujud, aku hampir menginjak kepalanya. Subhanallah, aku tak tahu apa yang sedang kulakukan.

Kulihat ke belakang dan kulihat orang ini, kalian mungkin mengenalnya, dia adalah Abu Hamza. Dia datang ke sini dan berceramah beberapa kali. Subhanallah, aku memanggilnya Abu Da’n, karena dia mempunyai jenggot yang sangat lebat, masya Allah.

Dia berjalan ke arahku dan aku berpikir “Hari ini aku akan mati. Ini adalah hari terakhir aku hidup. Aku akan mati. Aku seorang pria kulit putih di Leb-Land (Libanon). Apa yang harus kulakukan? Aku akan mati.

Dia terus berjalan bagaikan berjalan di Gurun Sahara, sebuah abaya (gamis) yang besar, enggot yang lebat. Tapi subhanallah, kata-kata pertama yang dia ucapkan adalah “Selamat siang kawan! Apa kabarmu?” Subhanallah, aku sangat terkejut dengan keramahannya.

Sebagai orang Australia -orang Australia jangan tersinggung- tapi didikanku berasal dari didikan negaraku. Orang tuaku membesarkanku sebagai seorang atheis. Mereka dibesarkan sebagai Kristiani. Mereka terpaksa pergi ke gereja tiap Minggu dan mereka sangat membenci hal itu. Jadi ketika aku dan saudara-saudaraku lahir, mereka menanamkan di otak kami bahwa “Ketika kau mati, selesai sudah. Itu saja. Tidak ada akhirat, tidak ada Tuhan, itu semua bohong. Jadi aku dibesarkan sebagai atheis.

Jadi, ketika aku beralan, aku melihat Abu Hamza dan dia berbicara kepadaku dengan sangat sopan, aku sangat bersyukur. Karena perasaanku aku telah melihatnya tadi di berita jam 5, ia sedang membajak sebauh pesawat di hari sebelumnya.

Orang Australia juga ramah, jangan salah paham, tapi Leboz (Orang Libanon) adalah orang yang ramah yang pernah kutemui. Seiring Abu Hamza berbicara, saudara-saudara muslim yang lainnya membuatkanku secangkir teh. Jujur saja, aku harus bolak-balik ke toilet setiap 5 menit. Mereka terus saja menyediakanku teh dan biskuit. Aku tak pernah dijamu seperti ini sebelumnya. Dan kupikir, di sisi lain, aku terus kembali karena biskuitnya, dan juga karena agamanya.

Jadi, ketika duduk bersama dengan saudara-saudara muslim ini, akupun bertanya. Kutanya segala pertanyaan yang pernah kuajukan kepada pendeta, pastor, dan teman-temanku. Subhanallah, hal yang paling menyentuhku adalah, setiap aku bertanya, mereka tidak hanya menjawab, mereka mengambil Alquran dan berkata, “Baca ini bro.” dan di sana ada jawabannya kapanpun aku bertanya.

Dan aku bertanya pertanyaan lainnya, pertanyaan yang sulit, bukan pertanyaan yang mudah, “Kenapa wanita harus mengenakan jilbab? Kenapa dengan jilbab? Bagaimana bisa aku boleh punya 4 istri tapi wanita tidak boleh punya 4 suami? Aku ingin tahu segala pertanyaan sulit yang merupakan pertanyaan yang akan kalian juga ajukan ketika kalian baru tahu tentang Islam.

Setelah sekian lama mereka terus menjawab pertanyaan dengan Alquran, bukan dari pendapat pribadi mereka dan aku jadi frustasi karenanya. Dan sebenarnya aku berkata pada salah satu saudara muslim. Dalam waktu ini, aku telah bolak-balik ke sana sekian minggu, di sana selalu ada beberapa saudara muslim ketika aku pergi. Dan aku bertanya kepada salah satu satu diantara mereka “Apa pendapatmu tentang masalah ini?” Kenapa kau tidak memberikan pendapatmu? Dan salah satu saudara muslim berkata kepadaku “Aku tidak boleh berpendapat dengan pendapatku, karena ini adalah firman Tuhan.”

Subhanallah, aku ingat hal itu sangat menyentuh hatiku. Aku bertanya, “Bolehkah aku membawa satu buah Alquran?” Dan aku tidak mengatakan bahwa aku akan meninggalkannya di sofa atau semisalnya. Aku akan menghormati kitab ini.

Aku membawa Alquran pulang dan mulai membacanya. Apa yang kutemukan saat membaca Alquran tidak seperti aku sedang membaca sebuah cerita. Itu terasa seperti seseorang memberiku perintah atau petunjuk.

Di suatu malam, aku memutuskan untuk mencoba dan membuat suasana rohaniah. Aku menyalakan lilin, membiarkan jendela dan gorden terbuka. Aku mencoba untuk benar-benar merasakan nuansa rohani. hari itu adalah malam musim panas di Melbourne. Dan aku duduk disana berpikir “Ini dia! Inilah malamnya.”

Aku telah menyelidiki semua bukti rohani, semua bukti ilmu pengetahuan tentang fakta bahwa gunung adalah penyangga bumi, tentang bagaimana embrio berkembang dalam janin wanita semuanya adalah bukti yang menakubkan tapi aku masih butuh sedikit motivasi lagi. Ini terasa seperti aku berada di pinggir sebuah tebing, aku siap melompat, aku hanya butuh sebuah dorongan.

Jadi, aku duduk di sana dan terasa sangat sunyi. Aku membaca Alquran dan berhenti. Aku mengatakan, “Allah, inilah saatnya. Inilah waktunya aku memasuki Islam, apa yang aku butuhkan hanyalah sedikit tanda kebesaran-Mu, sedikit saja, tidak usah yang besar, mungkin sebuah kilat, mungkin setengah rumahku ambruk, atau Kau tahu, yang kecil. Kecil untuk-Mu, Kaulah yang menciptakan bumi, ayolah.

Jadi aku duduk disana, aku sedang menunggu kemungkinan api lilinnya melompat 4 meter di udara seperti di film-film. Dan aku berkata, “Oke, ayolah!” Dan subhanallah, tidak teradi apa-apa. Benar-benar tidak terjadi apapun.

Seumurnya aku sangat kecewa. Aku masih duduk disana dan kuulangi perkataanku, “Allah, ini kesempatan-Mu. Aku di sini. Aku tidak pergi kemanapun. Aku akan memberi-Mu kesempatan kedua. Mungkin Kau sedang sibuk. Ini siang hari, mungkin Kau sedang mengatur dunia karena ada banyak hal yang terjadi. Kali ini mungkin hanya penampakan karpet terbang, Kau tahu sesuatu yang kecil., lupakan saja tentang rumah atau lilin tadi, seekor burung bisa kentut di luar, aku tak peduli, apapun itu. Oke, ayolah.

Dan subhanallah, benar-benar tidak ada apa pun yang terjadi, bahkan aku tidak dapat berkata “Oh itu dia, temboknya jadi retak, itu dia!” Benar-benar tidak ada yang terjadi. Aku sangat kecewa dan cemberut.

Aku duduk di sana berpikir, sudahlah, ini kesempatan terakhirku masuk Islam dan benar-benar belum menemukannya. Namun kuambil lagi Alquran dan kubaca lagi. Subhanallah, ayat berikutnya di halaman selanjutnya “Untuk kalian yang meminta petunjuk, tidakkah telah Kami tunjukkan? Lihatlah di sekitarmu., lihatlah bintang-bintang, lihatlah matahari, lihatlah air. Inilah tanda-tanda untuk orang yang mengetahui.” Subhanallah… Aku menutupi kepalaku dan berpura-pura aku sedang tertidur, setakut itulah aku.

Aku tak percaya betapa sombongnya aku menginginkan tanda yang ku-inginkan padahal sudah ada sekian lama tanda-tanda kebesaran Allah di sekelilingku. Fakta adanya dunia, adanya ciptaan, inilah tanda-tanda bagi kita.

Hari berikutnya aku memutuskan inilah saatnya aku menjadi muslim. Seumurnya aku telah meneliti Islam selama kurang lebih 6 bulan. Aku pergi ke Masjid dan berkata pada diriku sendiri “Inilah saatnya aku akan mengucapkan syahadat.” Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tak tahu apa kata-katanya. Hari itu dekat dengan shalat isya, mungkin saja, 7 atau jam 8 malam. Aku masuk ke dalam masjid dan aku tidak percaya ada sekitar 1000 orang di dalam masjid tersebut. Aku berpikir “Subhanallah, lihatlah ini, betapa kuatnya mereka!” Ternyata itu hari pertama Ramadhan.

Jadi aku duduk disana dan aku sangat gugup saat itu. Aku harus berdiri dan seseorang membimbingku “Kau harus mengucapkan kata-kata ini bro ‘asy-hadu‘” Aku katakan “Apa? Ash apa? Bisakah dalam bahasa Inggris saja?” Orang itu mengatakan, “Tidak, kau harus mengatakannya dalam bahasa Arab.”

Aku berpikir, lihatlah semua lautan jenggot ini dan aku harus mengatakannya di depan mereka semua?! Kalau aku mengucapkannya dengan salah, aku bisa mati. Sampai demikian rasa takutku karena image umat Islam. Dan mereka semua menyorotkan pandangan mereka padaku, padahal orang Australia tidak tahan dengan tatapan demikian.

Aku berdiri dan subhanallah, seiring aku mengucapkan kata-kata itu, semua ketakutan menghilang dari pikiranku. Terasa seperti sebuah shower ada dalam kepalaku dan seseorang menyalakan air dinginnya. Terasa seakan-akan aku telah dibasuh bersih. Aku ucapkan syahadat dan aku tak menduga begitu banyak saudara muslim menghampiri dan “Takbir! Allahu Akbar!!” Lalu mereka mulai menciumku dan memelukku. Aku tidak pernah dicium oleh begitu banyak pria dalam hidupku, tapi itu adalah hari yang indah, harus kuakui. Hari itu adalah hari dimana aku mendapat lebih banyak saudara daripada yang kubayangkan.

Keluargaku begitu khawatir bahwa aku akan menjadi sedikit aneh, bahwa aku akan menembakkan AK-47 dan meledakkan granat.  Tapi akhirnya mereka menyadari bahwa agama ini membuatku menjadi orang yang lebih baik dan bisa diandalkan.


Jawaban Tegas Sultan Brunei Terhadap Kritikan Barat Atas Penerapan Syariat Islam



Setelah Brunei Darussalam memutuskan untuk menerapkan Syari’at Islam di negaranya, banyak pihak yang anti Syari’ah terguncang. Media Barat ramai-ramai mengecam kebijakan tersebut, menganggap bertentangan dengan hukum internasional, melanggar hak asasi manusia, serta kecaman keras lain yang tidak pantas. Para selebriti dunia pun turut ambil bagian dalam aksi protes tersebut dengan memboikot hotel milik Sultan.

Kecaman tersebut juga ditujukan kepada diri pribadi Sultan Brunei yang merupakan kekuatan besar di balik penerapan Syari’ah Islam di Brunei. Mereka mencari-cari kesalahan pribadi sang Sultan, serta membuat fitnah terhadap keluarganya. Media-media Indonesia pun ikut memberondong kebijakan tersebut dengan aneka fitnah yang keji.

Kecaman tersebut tentu saja aneh dan tidak beralasan. Karena penerapan Syari’at Islam di Brunei berlaku untuk negara Brunei, dan yang mendapat dampak dari kebijakan tersebut adalah penduduk Brunei yang notabene mereka enjoy saja. Akan tetapi, kebijakan penerapan Syari’at Islam membuat banyak pihak yang merasa terganggu kepentingannya mencari celah untuk menggembosi kebijakan tersebut.

Berikut jawaban tegas dari Sultan Brunei Hassanal Bolkiah terkait kecaman keras yang ditujukan atas kebijakan penerapan Syari’ah Islam di negaranya, sebagaimana dilansir oleh My News Hub.

“Di negara Anda, Anda mengklaim menerapkan kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan beragama, dan sebagainya. Hal tersebut ada dalam konstitusi Anda dan sistem politik Anda, identitas nasional Anda, hak Anda dan cara hidup Anda.”

“Di negara kami, kami mempraktekkan budaya Melayu, Islam, Sistem Monarki, dan kita akan menerapkan hukum dan Syariah Islam. Islam adalah konstitusi kami, identitas nasional kami, hak kami, dan cara hidup kami,”

“Kami mungkin menemukan celah (kelemahan) dalam sistem hukum dan peradilan Anda, dan Anda mungkin menemukan hal yang sama pada kami, tapi ini adalah negara kami. Sama seperti Anda yang mempraktikkan hak Anda untuk menjadi gay, dll untuk kehidupan Anda di dunia ini. Sedangkan kami mempraktekkan hak-hak kami untuk menjadi Muslim untuk kehidupan di dunia dan akhirat.”

“Ini adalah sebuah negara Islam yang mempraktekkan hukum Islam. Mengapa Anda tidak khawatir tentang anak-anak Anda yang ditembak mati di sekolah-sekolah, khawatir tentang penjara-penjara Anda yang tidak mampu untuk menampung narapidana, khawatir tentang tingginya tingkat kejahatan, khawatir tentang tingginya tingkat bunuh diri dan aborsi, khawatir tentang apa saja yang seharusnya Anda khawatirkan di negara Anda. Sebagian besar agama menentang homoseksualitas, itu bukanlah sesuatu yang baru.”

“Pada saat Anda mendengar bahwa Islam dan Muslim membuat sikap dan berusaha untuk meneguhkan kembali iman mereka, Anda menghakimi, Anda melakukan boikot, Anda mengatakan bahwa itu salah, itu bodoh, itu biadab.”

“Sekali lagi, seharusnya Anda fokus terhadap kekhawatiran-kekhawatiran yang telah saya sebutkan sebelumnya. Apakah tidak salah [hukum] yang membolehkan senjata mematikan? Apakah tidak salah [hukum] yang membolehkan bayi yang belum lahir dibunuh? Apakah tidak salah [hukum] yang membolehkan gaya hidup yang menghasilkan AIDS dan terputusnya generasi?”

“Mengapa Anda begitu peduli terhadap apa yang terjadi di sini, di sebuah negara Islam, sedangkan pada saat yang sama Anda bahkan tidak membuka mata tentang apa yang terjadi di Suriah, Bosnia, Rohingya, Palestina, dan lain-lain?”

“Ribuan orang terbunuh di sana dan Anda tidak peduli, tidak ada seorangpun yang terbunuh di sini di bawah hukum Syari’ah ini, dan Anda begitu meributkannya, bahkan pada saat warga di sini yang langsung terkena dampaknya, menerimanya dengan damai.”

“Hukuman mungkin keras tetapi tidak berarti bahwa ini lebih mudah untuk dilakukan. Ada proses yang harus dilalui sebelum suatu hukuman yang sebenarnya dijatuhkan. Kami baik-baik saja dengan ini, dan kami senang.”

Sumber : Arrahmah.com

Minggu, 14 Februari 2016

Seharusnya Inilah Yang Diperingati Setiap Tanggal 14 Februari


Apabila kita bertanya kepada banyak orang tentang apa yang mereka ingat jika menyebut tanggal 14 Februari, tentulah mayoritas dari mereka akan berkata 'Hari Valentine', apalagi kalau yang ditanya adalah anak-anak muda galau zaman sekarang.

Padahal, tanggal 14 Februari dicatat dalam sejarah nasional Indonesia sebagai peringatan peristiwa Pemberontakan PETA (Pembela Tanah Air) di Kota Blitar pada tahun 1945 -hanya setengah tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia- yang dipimpin oleh Shodancho Supriyadi.

Perlu diingat, Tentara PETA (Pembela Tanah air) telah berperan besar dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.

PETA (singkatan dari "Pembela Tanah Air") adalah bentukan junta militer pendudukan Kekaisaran Jepang di Indonesia yang didirikan pada bulan Oktober 1943. Jepang merekrut para pemuda Indonesia untuk dijadikan sebagai tentara teritorial guna mempertahankan Pulau Jawa, Bali, dan Sumatera jika pasukan Sekutu (Amerika Serikat, Inggris, Australia, Belanda, dkk.) tiba. Tentara-tentara PETA mendapatkan pelatihan militer dari tentara Kekaisaran Jepang, tetapi berbeda dengan tentara-tentara HEIHO yang ikut bertempur bersama tentara-tentara Jepang di berbagai medan tempur Asia seperti Myanmar, Thailand, dan Filipina. Tentara PETA belum pernah mengalami pengalaman tempur.

Shodancho Supriyadi, Shodancho Muradi, dan rekan-rekannya adalah lulusan angkatan pertama pendidikan komandan peleton PETA di Bogor. Mereka lantas dikembalikan ke daerah asalnya untuk bertugas di bawah Daidan (Batalyon) Blitar.

Nurani para komandan muda itu tersentuh dan tersentak melihat penderitaan rakyat Indonesia yang diperlakukan bagaikan budak oleh tentara Jepang. Kondisi Romusha, yakni orang-orang yang dikerahkan untuk bekerja paksa membangun benteng-benteng di pantai sangat menyedihkan. Banyak yang tewas akibat kelaparan dan terkena berbagai macam penyakit tanpa diobati sama sekali. Para prajurit PETA juga geram melihat kelakuan tentara-tentara Jepang yang suka melecehkan harkat dan martabat wanita-wanita Indonesia. Para wanita ini pada awalnya dijanjikan akan mendapatkan pendidikan di Jakarta, namun ternyata malah menjadi pemuas nafsu seksual para tentara Jepang. Selain itu, ada aturan yang mewajibkan tentara PETA memberi hormat kepada serdadu Jepang, walaupun pangkat prajurit Jepang itu lebih rendah daripada anggota PETA. Harga diri para perwira PETA pun terusik dan terhina.

Akhirnya, pada tanggal 14 Februari 1945, pasukan PETA di Blitar di bawah pimpinan Shodancho Supriadi melakukan sebuah pemberontakan.

Pasca kemerdekaan, Supriadi ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah. 

Source : indrasr