Seputar Dunia Islam

Sabtu, 01 Januari 2011

Melangkah Pasti

Sering dalam keadaan kepepet seseorang jadi berpikir kreatif. Bukankah ketika semua jalan sudah tertutup dan buntu, mau tak mau memanfaatkan yang ada disekitar. Dengan modal seadanya harus mencapai target-target besar. Ketika terkepung oleh pasukan sekutu dalam perang ahzab, terbitlah ilham kreatif dari seorang Salman al-Farisy. Waktu itu, di Arab, tidak mengenal taktik perang khandaq, parit. Nyatanya dengan ide itu pasukan Islam menyongsong kemenangan.

Sebaliknya, dalam keadaan normal. Ide-ide itu muncul menjadi liar. Bahkan keadaan ini membuat pikiran terlalu melambung jauh dari realita. Dalam kondisi yang anteng-anteng orang justru terbuai. Lari dari fokus atau sibuk berkelahi sesama. Contohnya, reformasi ini ketika kran kebebasan dibuka penuh, lagi-lagi gagal dimanfaatkan. Karena semua merasa bebas. Semua merasa berhak untuk berteriak. Semua ingin menanmpilkan diri, akibatnya terjadilah benturan antar umat Islam sendiri. Peluang itu pun kembali tertutup oleh ego masing-masing.

Tapi, ketika terjadi bencana Perang Ambon, tsunami dan erupsi merapi. Umat Islam dipaksa untuk bersatu. Bencana Merapi yang begitu dahsyat dan panjang ini jelas membutuhkan tenaga ekstra. Memang mula-mula, bekerja sendiri-sendiri. Tapi, begitu melihat besarnya wilayah apalagi waktunya yang panjang. Mulailah mereka menyatukan kekuatan. Bekerja sendiri hanya akan menguras stamina, atau malah berbenturan.

Taktik inilah yang dipakai musuh-musuh Islam. Pada letusan Merapi 2006 silam, ketika relawan muslim sudah loyo, baik stamina apalagi dana, justru saat begitu, pihak non muslim datang. Mereka mengambil alih semua kerja keras relawan muslim. Akhirnya seperti kata petani, mereka tinggal memetik buah.

Belajar dari pengalaman 2006 lalu, maka relawan muslim tak bisa bekerja sendiri. Tak bagus saling berebut lahan. Tak baik menurutkan ego berebut menancapkan bendera, bahwa pihaknyalah yang paling cepat dan paling hebat.

Itu dalam hal kondisi lingkungan. Terus bagaimana kaitannya dengan usia. Pandangan seorang remaja tentu berbeda dengan seorang syaikh. Seorang pemula beda lagi pemikirannya dengan seorang kader. Beda lagi dengan seorang Pendiri. Dakwah walisongo tentu berbeda dengan masa kolonial dan berbeda gaya dengan era digital.

Sayang memang bila ada seorang aktivis yang melangkah maju mundur, jalan di tempat atau futur. Betapa banyak mereka yang dulu bersemangat hingga berlebih. Kerjanya memaki rekan aktivis lain. Idealisme mereka melambung jauh dari relitas. Tapi, ketika masalah yang sama datang menimpa, mereka pun tidak jauh berbeda.

Ketika remaja, ada rekan yang mengecam seorang dai, yang menerima amplop. Tapi, begitu usia bertambah dan kebutuhan bertambah, apalagi sudah berumah tangga. Telebih jam terbang sudah tinggi, maka mobilitas yang tinggi dari seorang penceramah itu membutuhkan biaya operasional yang tinggi pula. Maka urusan dapur tidak ngebul akan berdampak terhadap mobilitas dakwah. Apalagi kalau memikirkan manajemen personal branding. Dakwah pun menuntut manajemen profesional.

Orang yang terbiasa bekerja sendiri, ketika harus berorganisasi, maka harus punya stok kesabaran lagi. Karena setiap manusia memang punya kebiasaan, bakat dan inteletual yang berbeda. Ada yang pintar membuat konsep, tapi ada juga yang aktif bergerak, ada yang mengandalkan tenaga. Tidak mungkin setiap orang harus bergaya seperti dirinya.

Sayangnya kesadaran itu kadang datang setelah terbentur oleh situasi dan kondisi. Seperti remaja masjid tadi, yang ketika menjadi penceramah dia baru merasakan betapa pentingnya uang transpor. Seperti orang yang biasa bekerja sendiri, menyadari betapa pentingnya organisasi. Seperti ketika musibah baik bencana alam maupun perang, betapa pentingnya bekerja sama, saling membagi peran. Dus harus ada kerja yang rapi.

Seorang ustadz yang aktivis dakwah tenang saja ketika mendapat bertubi-tubi pertanyaan atau gugatan dari binaannya. Kenapa begini, kenapa sekarang kita lembek, kenapa harus langkah ini? Dengan penuh keyakinan sang ustadz menjawab, ”Nanti mereka akan mengikuti langkah kita!”

Imam Hasan al-Bana meyakinkan pada binaannya bahwa dakwahnya adalah bagian dari Da’wah Salafiyah. Dakwah yang menyeru kembali kepada sumber Ilmu secara murni, yaitu dari kitabullah dan sunah rasul-Nya. Dakwah yang bercirikan Tariqat Suniyah, karena mempraktekkan sunnah yang suci dalam segala hal, khususnya dalam masalah aqidah, ibadah dsb.

Dakwah yang tidak meninggalkan Hakikat sufiyah: karena mereka mengetahui bahwa pondasi kebaikan adalah kebersihan jiwa, kesucian hati, dan membiasakan diri untuk beramal, berpaling dari makhluk, dan mencintai karena Allah, serta terikat dengan kebaikan.

Courtesy : Sabili

0 komentar:

Posting Komentar